

Adalah sebuah desa di pinggir sebuah danau. Di desa itu, seorang gadis cilik bernama Atieno tinggal.
Ayahnya adalah seorang nelayan ulung. Ia memiliki perahu kecil untuknya memancing.
Atieno senang mengikuti ayahnya memancing.
Atieno juga senang melihat anak-anak lelaki bermain bola.
Suatu hari dia berkata pada mereka, "Bawalah aku bermain."
Akan tetapi, anak-anak lelaki itu justru menertawainya, "Sana, pergi main petak umpet saja."
Teman-teman perempuan Atieno malah berkata, "Kakimu itu terlalu panjang." Dan Ia pun sedih.
Setiap pagi Atieno menari bersama matahari.
Matahari adalah teman satu-satunya.
Namun, suatu hari matahari tidak bersinar. Ayam jantan tidak berkokok. Burung tidak bernyanyi. Anak-anak tidak pergi ke sekolah. Bahkan ayahnya pun tidak pergi memancing.
Atieno pun sedih. "Di mana teman-temanku, matahari? Kenapa hari ini begitu suram?" ucapnya.
Atieno menceritakan kesedihannya kepada teman-temannya, tetapi mereka justru menertawai dia. "Mungkin temanmu, si matahari itu, sudah mati atau lari darimu," ucap mereka.
Atieno menjawab mereka, "Matahari itu temanku. Dia tidak mungkin mati."
Atieno sedih lalu berlari ke rumahnya.
Di rumahnya itu, Ia menendang bola kakaknya dengan sangat keras.
Pikirnya, "Aku akan bermain bola sampai matahari muncul."
Dia mengambil bola itu dan berlari ke luar.
Dia menaruh bola itu di tanah, pikirnya, "Aku pasti bisa bermain seperti anak-anak lelaki itu."
Ia menendang bola dengan keras. Bola itu pun melayang naik dan naik ke atas langit yang mendung.
Setiap orang melihat. Bola itu menghilang ditelan awan tebal.
Suasana pun menjadi hening.
Tiba-tiba awan mendung yang tebal itu pergi. Matahari pun muncul kembali. Dan kehidupan di desa datang lagi.
Akhirnya setiap orang mulai melakukan pekerjaannya.
Atieno hampir tak percaya saat matahari kembali ke desanya. Namun yang terpenting lagi, matahari kembali ke dalam hidupnya.
Ia pun berkata kepada anak-anak di sana, "Lihatlah, temanku, matahari, telah kembali."

